Perkembangan Bahasa Indonesia
Asal Mula
Bahasa Indonesia dari segi bahasa yang digunakan
Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu, sebuah Bahasa Austronesia yang digunakan
sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal
penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa
sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat
lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan
sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang
digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
- Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
- Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
- Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
- Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
Dengan
memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada
masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan
kebangsaan.
Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Perkembangan
Bahasa Indonesia berdasarkan peristiwa-peristiwa penting
Perinciannya sebagai berikut:
Perinciannya sebagai berikut:
- Pada tahun 1901 disusunlah ejaan resmi Bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen dan ia dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
- Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
- Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan mamancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa Indonesia.
- Pada tahun 1933 secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan.
- Pada tarikh 25-28 Juni 1938 dilangsungkanlah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
- Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar RI 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
- Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
- Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober s.d. 2 November 1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
Perkembangan
Bahasa Indonesia berdasarkan prasasti-prasasti
Penelusuran
perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi
(batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa
Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang
menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu.
Nama-nama prasasti adalah:
(1) Kedukan
Bukit (683 Masehi),
(2) Talang
Tuwo (684 Masehi),
(3) Kota
Kapur (686 Masehi),
(4) Karang
Brahi (686 Masehi),
(5)
Gandasuli (832 Masehi),
(6) Bogor (942
Masehi), dan
(7)
Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti
itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa
Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
- Prasasti
Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan, yang
bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang
memuat nama Sriwijaya.
- Prasasti
Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi
bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai
lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat
berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatn raja.
- Prasasti
Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun
686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha
Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan
orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan
keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Jika
berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulkan
bahwa Bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sebagai lingua
franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya.
Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa
bersama dengan Bahasa Sanskerta, Bahasa Melayu (diistilahkan Kw’en Lun)
memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu
(Sriwijaya).
Perkembangan
Bahasa Indonesia berdasarkan catatan-catatan penting
Selain
berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa dijadikan
sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina
turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa
penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke
Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka
namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kw’en Lun itu
oleh I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa
Melayu.
Untuk
keperluan perkembangan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, Traktat London
(Perjanjian London) 1824 antara Pemerintah Inggris dan Belanda merupakan
tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu antara lain berisi
kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu:
(1)
Semenanjung Melayu dan Singapura besera pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan
kolonial Inggris; dan
(2)
Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau Sumatera, Jawa,
sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil: pulau-pulau
Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor , dan lain-lain; Kepulauan
Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial Belanda.
Oleh karena
itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode,
yaitu
01.Perkembangan
bahasa Melayu sebelum Traktat London
Perkembangan
bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat disistematisasikan ke dlam
beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut:
1)
Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
2)
Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
- Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
- Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
- Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
- Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
- Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
3)
Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan
bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan
perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu
berkembanga menjadi tiga arah, yaitu:
(a) di
Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
(b) di
Malaysia menjadi Bahasa Malaysia;
(c) di
Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;
(d) di
Singapura menjadi Bahasa Nasional.
Perkembangan
Bahasa Indonesia di Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11
Masehi)
Sebagai
kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh
lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang
penting selama berabad-abad lamanya. Para saudagar dari timur dan barat serta
dari Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan transaksi dagang. Tentu saja
bahasa Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar
itu. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan
Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).
Dengan
demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kegiatan hajat manusia dan pusat
administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya. Sriwijaya juga merupakan
pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Abas (1987) mengulangi apa yang
pernah ditulis oleh Gregoris F. Zaide, seorang ahli sejarah Filipina terkemuka,
mengenai kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada era itu:
The Empire
of Sriwijaya (Sri-Vishaya) emerged from the ashes of the maritime colonialism
of Pallawa from 8th ventury to 1377 AD. Founded by Hindunized
Malays, it was basucally Malayan in might, Hindunistic in culture, and
Buddhistic in religion. The empire was so named after the capital, Sri-Vishaya,
Sumatra . At the height of its power under the Shailendra dynasty, it included
Malaya , Ceylon , Borneo, Celebes, the Philippines , and part of Formosa , and
probaly exercised sovereignty over Cambodia and Champa ( Annam ). (Zaide, 1950: 36)
Menurut Mees
(1954) Sriwijaya mendirikan suatu perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya
datang dari semua penjuru kawasan yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa
bahka datang dari kerajaan-kerajaan tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa
pengantar pada perguruan tinggi itu dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah
bahasa melayu kuno atau lingua franca Kw’en Lun.
Perkembangan
Bahasa Indonesia di Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad
ke-19 Masehi):
Pemakaian
bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang
ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu
era Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad
ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa
Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.
Era ini
dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan
sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini
dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode
Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian
menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia .
Pada era
Kerajaan-kerjaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa yang ikut mempergunakana bahasa
Melayu sebagai lingua franca tidak hanya menmbantu penyebaran bahasa itu
secara ekstensif melainkan juga menaikkan statusnya sebagai bahasa yang
memiliki “norma supraetnik”, melebihi norma etnik bahasa-bahasa daerah lainnya
yang ada di Kepulauan Nusantara.
Pigafetta
yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi
dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama Bahasa Melayu ketika
kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi. Glosari Pigafetta yang sederhana
ini menunjukkan bahwa Bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia bagian barat
telah menyebar ke bagian timur Kepulauan Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada
tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat Bahasa Melayu sebagai bahasa
resmi kedua mendampingi Bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan bahwa peranan Bahasa
Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pada tahun
1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang pelaut Belanda yang berlayar ke
Indonesia, menulis di dalam bukunya Itinerarium Schipvaert naar Oost ofte
Portugaels Indiens bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa yang dipergunakan oleh
banyak orang timur, dan bahwa barang siapa yang tidak mengerti bahasa itu akan
berada dalam keadaan seperti orang Belanda (dari zaman yang sama) yang tidak
mengerti Bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 393).
Pada akhir
abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di Malaka, ia telah menulis buku berjudul
Oud en Nievw Oostindien II Del V tentang bahasa Melayu. Dalam buku
tersebut dinyatakan bahwa Bahasa Melayu telah terbukti menjalankan fungsinya
sebagai alat komunikasi dan lingua franca yang penting di Malaka.
Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa Belanda dalam penulisan
buku sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah dan skenario kota pelabuhan di
Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah:
“Bahasa
mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan saja digunakan di pantai-pantai Tanah
Melayu, melainkan juga di seluruh India dan di negeri-negeri sebelah timur. Di
mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa
Perancis atau bahasa Latin di Eropa, atau senacan bahasa perantara di Itali
atau di Levent. OLeh karena banyaknya bahasa ini digunakan,maka seseorang yang
mampu bertutur dalam bahasaMelatu akan dapat dipahami orang baik dalam negeri
Persia maupun Filipina.”
Perkembangan
Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12
sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera
setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan memaksa raja
memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak Singapura sekarang.
Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa.
Ibu kota , sekali lagi, harus dipindahkan lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya
. Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih termasuk daerah Riau. Bahasa
Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan
bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai
dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat
dijadikan sumber acuan mengenai peran Bahasa Melayu selama sub-era
Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah Bahasa Melayu yang dipergunakan pada sub-era
ini ada hubungannya dengan Bahasa Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak
dapat diketahui dengan pasti.
Banyak ahli
bahasa dan orinentalis menganggap bahwa Bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya
adalah semacam Bahasa Melayu kuno seperti yang ditunjukkan oleh berbagai
inskripsi batu bertulis abad ke-7 Masehi. Junus (1969) bersikap agak ragu
tentang hubungan antara bahasa Melayu kuno dengan bahasa Melayu Riau. Tetapi,
dengan adanya bahasa Melayu Bintan-Tumasik yang merupakan suatu bentuk bahasa
peralihan antara kedua bahasa itu, maka keraguan Junus hilang dengan
sendirinya. Lebih-lebih apabila diingat asumsi yang mengatakan bahwa suatu
bahasa kini merupakan perkembangan bahasa masa lampau. Dengan demikian, asumsi
bahwa ada hubungan antara Bahasa Melayu kuno dan Bahasa Melayu era Kerajaan
Sriwijaya benar adanya.
Perkembangan
Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu Riau (abad ke-14 sampai dengan
abad ke-19 Masehi)
Untuk
pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era
Kerajaan Sriwijaya dan Bahasa Melayu dari sub-era Keraan Riau. Seperti
disinggung sebelumnya bahwa Bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat
dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat kekunoannya itu, banyak ahli
bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai bahasa Melayu
Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan
Melayu Riau sama sekali tidak dipengaruhi oleh Bahasa Sansekerta dan memiliki
ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut
“Bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini, seperti
diuraikan berikut ini.
Perkembangan
Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad
ke-15 Masehi)
Seperti
telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan
Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan ke Malaka di Semenanjung
Malaya . Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tumasik dipertahankan, dan
mulai saat itu dan seterusnya bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke
hampir seluruh penjuru Semenanjung Melaya.
Kerajaan
Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang
Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang
menghubungkan antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa,
antara Samudra India dan Laut Cina Selatan, dan antara Samudra India dan
Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia
Tenggara pada waktu itu.
Pada
peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat penyebaran agama Islam.
Menjelmanya kota itu menjadi pusat penyebaran agama Islam. Winstedt (1917: 92)
melukiskan sebagai berikut:
“Perlak and
Pasai in North Sumatra were the first Malay Centers for the propagation of the
Muhammadan faith and culture. At Pasai, in 1407 was buried Abdul’llah ibn
Muhammad ibn Abdul’l-Kadir ibn Abdul’l-Azis ibn Al-Mansur Abu Ja’far al-Abbasi
al-Muntasir, a missionary from Delhi of the house of the Abbasides who
furnished Caliphs from the time of Prophet till it was destroyed by the Turks
in 1258. Pasai converted Malaka, a center greater than itself.”
Dengan
demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan, yaitu perkembangan dan penyebaran
Bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan
ini terlaksana secara bersamaan, sebab para guru dan penganjur agama Islam,
dalam melaksanakan misinya itu, mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang,
mempergunakan bahasa Melayu.
Pada tahun
1511, misionaris Portugis menyerang dan menaklukkan Malaka yang memaksa
dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut. Pusat perkembangan dan penyebaran
Bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam pindah ke Johor.
Meskipun
Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat penyebaran agama Kristen, namun
peran sebagai pusat pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu tetap
berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan bahasa Melayu tidak terbatas
hanya di kawasan Asia Tenggara saja, melainkan meluas ke pusat-pusat
perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai bukti, Ar-Raniri, seorang
pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di India telah menguasai Bahasa
Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun 1637. Hal ini hanya mungkin
apabila Bahasa Melayu telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu
(Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 394).
Bahasa
Melayu merambah jalannya juga ke benua Eropa dalam abad ke-16. Karena bahasa
Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau pangeran Malayu ketika
berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu yang sama, St. Francis Xavier
mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak penduduk Maluku memeluk agama
Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang
dimengerti oleh hampir setiap orang.
Perkembangan
Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad
ke-17 Masehi)
Dengan
ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan kerajaan itu
dipindahkan ke Johor, suatu daerah di sebelah selatan Malaka di Semenanjung
Malaya. Lokasinya tidak sebaik lokasi Malaka dalam hal pengembangan dan
penyebaran bahasa Melayu dan ajaran agama Islam.
Meskipun
demikian, periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu yang amat
berharga, yaitu mempertahankan bentuk Bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama
Bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa
Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut sehingga pantas disebut
“bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis sangat
berbeda dengan Bahasa Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai Portugis. Bahasa
Malayu Johorlah yang mempertahankan ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka sebelum
penaklukan Portugis.
Bahasa
Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan agama Islam ke
bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan
bahkan sampai abadke-17, sangat dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam.
Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan
Nusantara, bahkan di kawasan Asia Tenggara.
Perkembangan
Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan
abad-19 Masehi)
Pada tahun
1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat
kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau yang bergabung
dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode
dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan
Lingga. Dalamperiode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan
bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional
Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Periode
Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja
Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah
Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada
tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa
Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika
Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu
tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul
Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan.
Pengoperasian
percetakan Mathba’atul Riauwiyah ini sangat penting karena melalui
buku-buku dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar
ke daerah lain di Kepulauan Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha
pembakuan bahasa Melayu Riau sudah dimulai.
Selama
perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di Eropa, yang berakibat
Negeri Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula
perang antara kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang
tunduk kepada {emerintah Perancis di Kepulauan Nusantara.
Untuk
beberapa tahun lamanya, 1819 – 1824, Pulau Jawa dan Pulau Sumatra diduduki
Inggris. Salah seorang administratur Inggris yang ulung, yang pernah menjadi
Gubernur Jenderal di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, yaitu Stamford Raffles,
mendirikan Singapura pada bekas kerajaan Tumasik pada tahun 1819.
Orang-orang
Belanda datang pertama kali ke Indonesia bertujuan untuk berdagang. Pada
tanggal 20 Maret 1602 mereka mendirikan VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie) untuk melaksanakan perdagangan. VOC beroperasi di Indonesia
selama hampir 200 tahun sampai tahun 1799, menyusul perusahaan itu
direorganisasikan menjadi suatu pemerintahan kolonial. Belanda mulai menjajah
Indonensia dengan memperoleh nama baru Nederlandsche Oost-Indie (India
Belanda).
Disinilah,
Selat Malaka, di daratan Semenanjung Malaya, kekuasaan kolonial Inggris semakin
mencekamkan kukunya. Setelah jatuh ke tangan Portugis, daerah Malaka ini
semakin penting perannya sebagai pusat perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang
melimpah yang dipersembahkan oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan British
East India, yang pada saat itu masih beroperasi di anak Benua India, mulai
meluaskan daerah perdagangannya ke Asia Tenggara. Maka muncul konflik
kepentingan di antara ketiga kekuasaan kolonial: Inggris, Belanda, dan
Portugis.
Dari sudut
pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik antara Inggris dan Belanda
sangat penting, karena konfrontasi antara kedua kekuasaan itu berakhir pada
pembagian kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa
Melayu yang dipergunakan di kawasan itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa
Melayu Riau.
Pada 2
Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan
Indonesia, Stanford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di
Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada
salah satu pulau (Tumasik) yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Setelah benteng
Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata
terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di
Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri
konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu
terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang
membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia
berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura
berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan
Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan
Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial
Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melayu Riau dan Bahasa Melayu
Johor secara legal terjadi.
Bahasa
Melayu Riau yang merupakan Bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan
pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai
dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan.
Bahkan, sejak berlakunya Persetujuan London atau Traktat London, Bahasa Melayu
Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya
kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli Bahasa
Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan
bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif
bahasa Melayu Riau. Buku tata-bahasa ini selama berpuluh-puluh tahun
dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di
Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji,
misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga
menerbitkan karya mereka.
Publikasi
karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam
proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20
karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa
Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh
banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
02.Perkembangan
Bahasa Indonesia Sebelum Traktat London
Sesudah
Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan
antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi
Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat
perkembangan versi Bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara.
Bahasa
Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh
masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah
sendiri-sendiri. Di samping itu, Bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua
franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma
supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau
bepergian ke mana-mana.
Beberapa
peristiwa penting menyangkut perkembangan bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan
di bawah ini.
- Tahun 1865, bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi Bahasa Belanda. Pranan ke-lingua franca-an Bahasa Melayu semakin nyata dan penting.
- Tahun 1901, Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische Taal yang berisi sistem ejaan Bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang bersifat fonemis. Sebelumnya bahasa Melayu Riau mempergunakan Huruf Arab (bahasa diistilahkan huruf Jawi) yang bersifat silabik sebagai sistem ejaan. Sistem ejaan van Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap lebih sesuai dengan Bahasa Melayu.
- Tahun 1918, Bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan demikian status Bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya.
- Tahun 1920, Bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku hasil penerbitan Balai Pustaka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Di samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa para pejuang kemerdekaan Indonesia.
- Pada tanggal 28 Oktober 1928, Bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya.
- Pada tahun 1933, Bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga Baroe sekelompok pengarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku.
- Pada tahun 1938, Kongres Bahasa Melayu (Indonesia) di Solo. Kongres ini meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah Bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu lagi.
- Tahun 1942 – 1945, Kepulauan Nusantara diduduki oleh balatentara Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua jenjang pendidikan.
- Pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan ke seluruh dunia dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Pasal … ayat … UUD 1945 memuat bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi negara.” Sejak itu bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan ‘45.
- Tahun 1954, Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini dihadiri pula oleh utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.
- Tahun 1972, antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia tercapai persetujuan di bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya. Terbentuklah Majelis Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM).
- Pada tanggal 16 Agustus 1972, diumumkan pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan Bahasa Melayu sebagai norma supra-nasional.
- Pada tanggal 30 Agustus 1975, diumumkan pula pemberlakukan tatacara pembentukan istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini semakin memperkuat MABIM sehingga Negara Brunai Darussalam dan Republik Singapura tertarik untuk bergabung di dalam majelis bahasa ini.
- Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara teratur setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993 menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, maupu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
- Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Negara Malaysia, Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura semakin kokoh. Keadaan ini akan mengantar Bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi luas di kawasan Asia Tenggara untuk selanjutnya diharapkan menjadi salah satu bahasa dunia di dalam abad ke-21.
Perkembangan
bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura tidak sepesat
dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh
Inggris. Pemerintah Kolonial Inggris mengakui adanya empat bahasa resmi, yaitu
Bahasa Melayu, Bahasa Mandarin, Bahasa Tamil, dan Bahasa Inggris. Keempat
bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada lembaga-lembaga
pendidikan. Umumnya, Bahasa Inggris paling dominan dipergunakan sebagai bahasa
pengantar.
Keadaan
kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya
Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul
dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North
Borneo), yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah
kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan
fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami
perkembangan yang cukup pesat.
Fenomena ini
menunjukkan bahwa sampai saat ini Bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi
bahasa Indonesia di Indonesia, Bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunei,
dan bahasa … di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai
alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan
sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah
pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa Bahasa Melayu merupakan salah
satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau
dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure Bahasa
Melayu semakin mantap.
Perkembangan bahasa di era global
Keberadaan bahasa Indonesia dewasa
ini mempunyai dua fenomena menarik:
A. Fenomena Positif
Bahasa Indonesia telah berkembang
dengan baik di kalangan masyarakat. Terbukti dengan digunakannya bahasa
Indonesia oleh para ibu (khususnya ibu-ibu muda) dalam mendidik anak-anaknya.
Dengan demikian, anak-anak menjadi terlatih menggunakan bahasa Indonesia dengan
baik dan di masa depan mereka memiliki keterampilan berkomunikasi menggunakan
bahasa Indonesia.
Kita juga perlu berbangga hati
dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam produk-produk perusahaan luar
negeri, baik dalam kemasannya, prosedur penggunaannya, maupun keterangan produk
yang dihasilkan. Mereka melakukan hal ini untuk mempermudah promosi, sehingga
produk mereka laku dipasarkan di Indonesia. Contohnya salah satu produk buatan
Jepang, automatic iron HA-40, yaitu:
Operating Instructions
Petunjuk
Penggunaan
How to use / cara
penggunaan :
1. Set fabric dial at the desired fabric making.
Atur panas sesuai jenis kain.
2. Make sure the voltage indicated on the iron meets your
local voltage. Allow iron to heat for 2 minutes on heel rest before ironing.
Pastikan voltase yang tertera pada
seterika sesuai dengan tegangan yang ada di tempat Anda. Tegakkan seterika
selama dua menit, selama menunggu landasan seterika menjadi panas, dst.
Dari contoh di atas, dapat
disimpulkan bahwa keberadaan bahasa Indonesia diakui oleh masyarakat
Internasional khususnya para pengusaha asing.
B. Fenomena Negatif
Seiring dengan berkembangnya zaman,
banyak ditemukan perkembangan bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa
Indonesia, seperti munculnya bahasa gaul, bahasa komunikasi kelompok bermain
atau bahasa prokem, dan bahasa SMS.
Dewasa ini, kesadaran untuk
berbahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan remaja mulai menurun,
mereka lebih senang menggunakan bahasa gaul daripada bahasa Indonesia. Fenomena
seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi, karena hal ini dapat merusak
kebakuan dan merancukan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia harus tetap
berkembang, walaupun diterpa oleh kemunculan bahasa-bahasa asing dan bahasa
pergaulan.
Kita seharusnya malu jika tidak
dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, karena kita pemiliknya.
Sekarang ini, kita cenderung menyepelekan dan mencampuradukkannya dengan bahasa
daerah, seperti mencampurnya dengan bahasa Jawa. Fenomena ini sering kali kita
jumpai dalam pergaulan sehari-hari, contohnya di sekolah, saat jam pelajaran
kita menggunakan bahasa Indonesia, tetapi saat kembali bercengkerama dengan
teman-teman, kita lupa akan bahasa Indonesia. Contohnya perkataan berikut “Alah apalah kamu itu, ya kalok gitu ya ndak
mungkin ok, masak dia kepleset kulit pisang sengaja, ndak mikir wis”. Apalagi
dengan kemunculan bahasa gaul dan bahasa prokem yang ternyata sudah dibukukan
oleh salah seorang artis ternama kita, Debi Suhartian.
Dengan adanya sarana komunikasi HP
juga telah merusak bahasa Indonesia. Salah satu fasilitasnya, yaitu SMS (Short Message Service) dengan segala
bentuk singkatannya untuk memperingan biaya. Contohnya, “Ass. Lg ap? Aq lg bc bk, u bsk jgn maen k rmhq y, coz ortuq lg blk. Gmn
klo qt ktm dt4 biasa jam 4an, tp u g mrh kn? Klo mrh y dtahan smp qt ktm bsk.
He3x. Wass”. Maksud dari kalimat di atas adalah, “Assalamu’alaikum, sedang
apa? Aku sedang membaca buku, kamu besok jangan ke rumahku ya, karena orang
tuaku sedang di rumah. Bagaimana kalau kita bertemu di tempat biasa sekitar pukul
empat, tetapi kamu tidak marah kan? Kalau marah ditahan sampai kita bertemu
besok. He, he, he. Wassalamu’alaikum warrohmatullahi wabarokatuh”. Selain,
fasilitas SMS, kini juga ada fasilitas BBM (Black
Berry Messeger) dan Whatsapp yang
sedikit banyak menyumbang kerusakan bahasa indonesia, meskipun dalam penggunaan
fasilitas ini kita tidak dipungut biaya karena sudah termasuk dalam pulsa
internet. Majalah-majalah remaja pun dewasa ini banyak menggunakan bahasa yang
tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Seperti cuplikan dari Majalah
Aneka Yess berikut:
· Gaya funky sampai gaya femininnya bisa kamu contoh lho. Asal kamu
pede, jangan ragu coba-coba matching-in penampilanmu, oke!!
· Enaknya, kalau pas ada tawaran job, tapi ternyata lebih cocok
dengan karakter si sahabat, langsung deh ngepromosiin
si sahabat itu. Btw,
sejauh mana ya Hessel kenal Lucky Hakim bintang iklan Kopi Kapal Api?
· “Tapi yang ini film Wes Craven, gitu loh! I mean, kalau lo
mau main film horor, ya ke Wes Craven!” kata Jesse.
Jika tidak ditanggulangi, hal ini akan menimbulkan
kerancuan dalam bahasa Indonesia. Contohnya ketika kita membuat skripsi, kita
akan kebingungan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Bahkan, pernah
seorang guru meminta murid-muridnya untuk membuat iklan penawaran dengan bahasa
singkat, padat, menarik, dan biaya murah. Ternyata hasilnya sungguh
mengejutkan, semua siswa di kelas tersebut mencari kata-kata yang sesuai dengan
kaidah kebahasaan. Inilah dampak berkembangnya bahasa gaul tanpa filter yang kuat.
Padahal dalam dunia bisnis kecakapan dalam berbahasa sangat diperlukan terutama
dalam menjalin kerjasama dan penawaran produk.
Dengan
berkembangnya penggunaan bahasa Indonesia oleh para ibu untuk mendidik anaknya,
juga merupakan fenomena negatif. Anak tidak terlatih untuk menggunakan bahasa
daerah, sehingga bahasa daerah akan punah. Bahasa Jawa yang terkenal sampai ke
mancanegara karena kehalusan, kesopanan, dan keluhuran bahasanya, juga akan
punah. Padahal, dalam bahasa Jawa telah diatur cara berbicara dengan yang tua,
muda, dan sebaya yang dapat digunakan sebagai acuan berbahasa Indonesia.
Apalagi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi 2006 (atau lebih dikenal dengan
KTSP-Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), siswa mulai SD hingga SMA dituntut
untuk dapat berbahasa daerah dengan baik.
Penulis sangat setuju dengan
dijadikannya bahasa lokal sebagai pelajaran pokok sekolah dan penetapan tanggal
21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Kebijakan pemerintah dan
penetapan internasional ini dapat menekan perkembangan bahasa gaul dan
melestarikan budaya bangsa. Oleh karena itu, perkembangan bahasa gaul di
kalangan remaja harus ditekan atau diminimalisasi, jika tidak akan
mempermalukan Indonesia di mata internasional, karena rakyatnya tidak bisa
berbahasa Indonesia dengan benar. Hal ini merupakan penghinaan dan tidak
menghormati jasa pahlawan dalam pergerakan merebut kemerdekaan, penetapan dan
pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang merupakan perwujudan
cita-cita untuk memperoleh salah satu ciri khas dari identitas nasional
sekaligus lambang bagi berbagai etnis di kepulauan Indonesia yang bukan hanya
sebagai bahasa perantara (lingua franca)
dan bahasa resmi, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pemersatu bangsa,
seperti yang tertuang dalam Sumpah Pemuda butir ketiga dan UUD 1945 pasal 36.
Jadi,
sebaiknya antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia harus berkembang seimbang,
agar peran bahasa Indonesia di era global ini diakui dan tetap berdiri tegak di
bumi Indonesia. Bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa Indonesia yang mengalami
penginggrisan harus dapat ditekan dan hanya sebatas untuk komunikasi pergaulan.
Bahasa pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan.
Oleh karena itu, bahasa Indonesia dalam konteks kebudayaan nasional merupakan
komponen yang paling representatif dan dominan, termasuk upaya melanggengkan
kesatuan bangsa (Hasan Alwi, 1998). Orang Indonesia sebaiknya belajar mencintai
bahasa nasionalnya dan belajar memakainya dengan kebanggaan dan kesetiaan, sehingga
membuat orang Indonesia berdiri tegak di dunia ini walaupun dilanda arus
globalisasi dan tetap dapat mengatakan dengan bangga bahwa orang Indonesia
menjadi bangsa yang berdulat yang mampu menggunakan bahasa nasionalnya untuk
semua keperluan modern.
Kita tidak boleh kalah dengan bangsa
lain, seperti Italia, Jerman, Prancis, Jepang, dan China yang bahasanya bukan
Inggris, tetapi tidak mengalami proses penginggrisan yang memprihatinkan.
Masyarakat Indonesia harus dapat menunjukkan ketahanan budayanya, warganya
hanya perlu diberi semangat dan didorong agar jangan cepat menyerah. Untuk
meningkatkan peran bahasa Indonesia di era global dan tetap mempertahankan
budaya daerah seharusnya pemerintah memberlakukan peraturan atau Undang-undang
tentang tata susunan, isi, dan penggunaan bahasa Indonesia yang benar dalam
surat kabar, tabloit, maupun majalah-majalah remaja. Sebaiknya dalam majalah
remaja perlu diisikan kolom khusus bacaan berbahasa Indonesia yang benar, untuk
media elektronik, seperti TV khususnya televisi swasta dan radio diadakan acara
debat, cerdas tangkas, diskusi, dan acara yang menggunakan bahasa Indonesia
yang benar. Tetap diadakan ujian nasional bahasa Indonesia dan pemberian
penghargaan kepada orang yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Dari uraian di atas, setidaknya hal
yang perlu diingat adalah hanya bahasa Indonesialah yang mampu mendekatkan
sekaligus menyatukan berbagai etnis di Indonesia, sehingga mereka dapat
berkomunikasi dengan lancar dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Indonesia
bukanlah satu-satunya lambang identitas kebangsaan di NKRI. Hal-hal lain,
seperti komitmen pada bendera Merah Putih juga merupakan lambang identitas
bangsa. Tetapi, satu hal yang patut direnungkan dalam konteks ini keduanya
dapat melahirkan sikap mental yang menumbuhkan rasa kebersamaan.
Pustaka
Acuan
- Abas, Husen. 1987. Indonesian As a Unifying Language of Wider Communication: a Historical and Sociolinguistic Perspectives.Canberra: Research School of Pasific Studies, ANU.
- Alisjahbana, Sutan Takdir. 1974. “Language Policy, Language Engineering and Literacy in Indonesia and Malaysia”. Dalam Fiherman, ed. 1974: 179-187.
- Fishamn, Joshuo A., ed. 1974. Advances in Language Planning. The Hague : Mouton.
- Hamidy, U.U. 1973. Bahasa Melayu Riau: Sumbangan Bahasa Melayu Riau kepada Bahasa dan Bangsa Indonesia . Pekanbaru: Badan Pembina Kesenian Daerah Propinsi Riau.
- Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Kearah Bahasa Indonesia dan Bangsa Indonesia . Djakarta : Bhratara.
- Joyonegoro, Wardiman. 1995. “Pidato Pembukaan KIP BOPA III”. 28 Agustus 1995.
- http://kask.us/1014230/
- http://bahasa.kompasiana.com/2012/09/24/perkembangan-bahasa-indonesia-di-era-global/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar